19
TAHUN USIA MINIMAL BAGI WALI NIKAH?
(Tinjauan
Kritis Atas Pasal 18 Ayat (2) Poin c PMA Nmor 11 Tahun 2007)
Syarat Wali Nikah dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007
Dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007
tentang Pencatatan Nikah, syarat bagi wali (nasab) nikah diterangkan dalam
pasal 18 ayat (2) sebagai berikut:
(2) Syarat wali nasab adalah:
1.
laki-laki;
2.
beragama
Islam;
3.
baligh,
berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
4.
berakal;
5.
merdeka;
dan
6.
dapat
berlaku adil.
Pasal ini mengandung makna hukum
bahwa seorang wali nasab yang telah memenuhi syarat seperti di atas tetapi
belum berusia 19 tahun, maka ia tidak dapat menjadi wali bagi pernikahan. Hak
walinya gugur dan berpindah kepada wali nasab lain yang lebih jauh.
Implikasinya, jika si wali nasab
yang belum berusia 19 tahun itu tetap menikahkan (menjadi wali dalam suatu
pernikahan), maka tentunya akad nikahnya menjadi tidak sah, karena tidak
memenuhi syarat. Seperti shalat yang dilakukan tanpa berwudlu terlebih
dahulu.
Dalam pasal tersebut, syarat-syarat
selain baligh adalah biasa: sejalan dengan keyakinan hukum yang dianut sebagian
besar masyarakat Indonesia. Yang berbeda dan terlihat kontroversi adalah
keterangan tambahan mengenai syarat baligh, yakni, kata "berumur
sekurang-kurangnya 19 tahun". Kata-kata tambahan itu terlihat begitu
berani untuk berbeda dengan pemahaman kebanyakan masyarakat, yang meyakini
bahwa usia baligh bagi laki-laki adalah 15 tahun.
Sebelum terbitnya PMA Nomor 11 tahun
2007, ketentuan usia 19 tahun hanya diberlakukan bagi calon pengantin laki-laki
dan saksi. Dengan kata-kata tambahan tersebut terlihat adanya upaya untuk
memberikan kepastian hukum mengenai usia baligh. Agaknya pemerintah ingin
konsisten menerapkan usia ideal 19 tahun bagi semua pihak yang melakukan akad
nikah (kecuali calon pengantin wanita).
Dengan hal itu pula Pemerintah telah
melakukan distorsi: pengalihan makna dari baligh ke dewasa. Distorsi yang
mungkin disengaja untuk tujuan maslahat. Bisa jadi, Pemerintah
berkeinginan agar wali nasab jangan sampai dilakukan oleh anak-anak, yang
menurut perundang-undangan yang berlaku tidak sah melakukan suatu tindakan
hukum.
Namun, dengan kebijakan itu,
ditakutkan bukannya maslahat yang didapat, tetapi dosa karena telah
melakukan tahrif (mengubah hukum syariat) dan menyulitkan ummat.
Ditambah lagi, pendefinisian
anak-anak dan dewasa dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak
sama. Perundang-undangan yang satu berbeda dengan yang lainnya.
UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, pada pasal 1, menyebutkan bahwa, "Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan." Sementara UU Anti Pornografi dan Pornoaksi memberikan
batasan, "Anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 12 (dua
belas) tahun; sdangkan Dewasa adalah seseorang yang telah berusia 12 (dua
betas) tahun keatas."
Dalam dunia hukum (positif), dewasa
juga dikenal dengan istilah legal age, yaitu usia yang menurut hukum
memenuhi syarat untuk diberi hak dan kewajiban hukum tertentu. Legal age
yang berlaku di Indonesia juga berbeda-beda. Legal age untuk menikah di
Indonesia adalah 15 tahun untuk wanita dan 18 tahun untuk pria
(KUHPdt.),
legal age untuk menikah bagi orang Islam adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), dan legal age untuk dimintai tanggung jawab pidana adalah 8 tahun (UU No. 3/1997 ttg Pengadilan Anak)
legal age untuk menikah bagi orang Islam adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), dan legal age untuk dimintai tanggung jawab pidana adalah 8 tahun (UU No. 3/1997 ttg Pengadilan Anak)
Term Fiqh tentang Usia Kecakapan Bertindak
Dalam nash (Alquran dan Hadits)
maupun dalam kitab-kitab fiqh ditemukan beberapa istilah mengenai fase usia
(kedewasaan) manusia. Istilah-istilah tersebut sebagai berikut:
- Mumayyiz (tamyiz); yaitu fase kesadaran intelektual. Pada fase ini manusia mulai paham akan lingkungan. Ia mulai dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk; apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tidak boleh; juga memahami akan hak dan kewajiban. Menurut Atjep Djazuli, mumayyiz dimulai pada usia 7 tahun.
Alquran menyebut fase ini dengan balaga al-hulum, seperti
dalam surat Al-Nur ayat 59:
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ
الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (59)
Pada usia hulum tersebut, anak-anak yang akan masuk
ke kamar ibunya harus meminta izin terlebih dahulu untuk masuk.
Si ibu tidak boleh sembarangan lagi membuka aurat di hadapan si anak.
Si ibu tidak boleh sembarangan lagi membuka aurat di hadapan si anak.
Al-Qurtuby dan Ibn Katsir dalam tafsirnya masing-masing,
menyebutkan Al-Auza`iy pendapat bahwa usia anak al-hulum adalah 4
tahun.
- Baligh; yaitu fase kematangan biologis. Pada fase ini manusia mengalami kematangan secara fisik. Seluruh kelengkapan tubuh orang dewasa mulai ada. Bulu-bulu halus mungkin mulai tumbuh, seiring perkembangan hormon, suarapun berubah.
Majalah al-Ahkam al-Adliyah (semacam kitab undang-undang
hukum perdata yang diterapkan pada masa pemerintahan Turki Utsmany) telah
menyebutkan kriteria yang jelas mengenai baligh. Seperti diterangkan dalam
Pasal 985, 986, dan 967 di bawah ini:
Pasal 985
Kedewasaan umur (baligh) itu dibuktikan oleh keluarnya sperma
ketika bermimpi, oleh kemampuan untuk bisa menghamili, oleh adanya menstruasi,
dan oleh kemampuannya untuk mengandung.
Pasal 986
Mulainya umur dewasa (baligh) untuk pria adalah 12
tahun penuh dan untuk wanita 9 tahun penuh. Berakhirnya masa baligh bagi pria
ataupun wanita adalah pada umur 15 tahun penuh. Jika seorang pria ketika
mencapai umur 12 tahun atau wanita ketika mencapai 9 tahun belum mencapai usia
baligh, mereka disebut sedang menuju baligh (murahiq dan murahiqah) sampai tiba
saatnya umur baligh.
Pasal 987
Seseorang yang telah mencapai batas akhir usia baligh,
tetapi tidak memperlihatkan tanda-tanda baligh, maka menurut hukum, dianggap
telah mencapai umur baligh.
Fase ini, dalam Alquran disebut sebagai balaga al-nikah (usia
nikah), separti dalam surat Al-Nisa ayat 6:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا
بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ
أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ
كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا
عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (6)
Menurut Ibn Katsir, berdasarkan beberapa hadits, usia balaga
al-nikah adalah 15 tahun.
Hadits-hadits tersebut antara lain:
عَنْ
عَائِشَة وَغَيْرهَا مِنْ الصَّحَابَة عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ " رُفِعَ الْقَلَم عَنْ ثَلَاثة الصَّبِيّ حَتَّى يَحْتَلِم
أَوْ يَسْتَكْمِل خَمْس عَشْرَة سَنَة وَعَنْ النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظ
وَعَنْ الْمَجْنُون حَتَّى يُفِيق "
عَنْ
اِبْن عُمَر قَالَ : عُرِضْت عَلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْم أُحُد وَأَنَا اِبْن أَرْبَع عَشْرَة فَلَمْ يُجِزْنِي وَعُرِضْت عَلَيْهِ
يَوْم الْخَنْدَق وَأَنَا اِبْن خَمْس عَشْرَة سَنَة فَأَجَازَنِي
- Rusyd; yaitu fase kematangan psikologis. Pada fase ini, bukan saja secara fisik-biologis sudah matang, melainkan juga telah matang dari emosi dan pengendalian diri. Ia akan bertindak setelah diperhitungkan dengan matang akibat yang akan ditimbulkannya.
Ada dua istilah yang disebutkan Akquran bagi fase ini, yaitu
balaga asyuddah dan istawa, sebagaimana dalam surat Al-Qashash
ayat 14:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى
آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (14)
Pada fase ini para (calon) nabi telah memiliki kesadaran
spiritual dan akhirnya mendapat wahyu.
Menurut Ibn Abbas, usia balaga asyuddah adalah 20
tahun, sedangkan usia istawa adalah 40 tahun. Berdasarkan hadits
dari Atha:
وَقَالَ
فِي رِوَايَة عَطَاء عَنْهُ : إِنَّ أَبَا بَكْر صَحِبَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اِبْن ثَمَانِيَ عَشْرَة سَنَة وَالنَّبِيّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِبْن عِشْرِينَ سَنَة , وَهُمْ يُرِيدُونَ
الشَّام لِلتِّجَارَةِ , فَنَزَلُوا مَنْزِلًا فِيهِ سِدْرَة , فَقَعَدَ النَّبِيّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ظِلّهَا , وَمَضَى أَبُو بَكْر إِلَى رَاهِب
هُنَاكَ فَسَأَلَهُ عَنْ الدِّين . فَقَالَ الرَّاهِب : مَنْ الرَّجُل الَّذِي فِي
ظِلّ الشَّجَرَة ؟ فَقَالَ : ذَاكَ مُحَمَّد بْن عَبْد اللَّه بْن عَبْد
الْمُطَّلِب . فَقَالَ : هَذَا وَاَللَّه نَبِيّ , وَمَا اِسْتَظَلَّ أَحَد
تَحْتهَا بَعْد عِيسَى . فَوَقَعَ فِي قَلْب أَبِي بَكْر الْيَقِين وَالتَّصْدِيق , وَكَانَ لَا
يَكَاد يُفَارِق رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَسْفَاره
وَحَضَره . فَلَمَّا نُبِّئَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَهُوَ اِبْن أَرْبَعِينَ سَنَة , صَدَّقَ أَبُو بَكْر رَضِيَ اللَّه عَنْهُ
رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اِبْن ثَمَانِيَة
وَثَلَاثِينَ سَنَة . فَلَمَّا بَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَة قَالَ : " رَبّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُر نِعْمَتك الَّتِي أَنْعَمْت عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ
" الْآيَة
Dari paparan di atas jelaslah bahwa secara nash,
baligh tidak bisa disamakan dengan dewasa. Karena itu, jelas pula bahwa
pemerintah (termasuk kita) telah melakukan kekeliruan, yang harus segera
ditebus dengan perubahan dan perbaikan.
Beberapa Usulan
Beberapa Usulan
Dalam menetapkan syarat baligh bagi
wali nasab, alangkah bijaknya jika memperhatikan hal-hal berikut:
- Memang benar bahwa posisi wali dalam (akad) pernikahan begitu penting. Walaupun demikian, tidaklah perlu mengubah makna nash untuk mengejar nilai ideal. Karena nikah adalah ibadah, maka syarat-syarat, rukun, kewajiban, sunnah-sunnahnya, dan kaifiyahnya harus tetap dijaga agar sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya;
- Hukum memang tidak harus tunduk kepada keinginan masyarakat. Tetapi, banyak terjadi, aturan perundang-undangan tidak dapat diterapkan dengan baik karena tidak sejalan dengan keyakinan kebanyakan masyarakat (seperti tentang sahnya thalak harus di depan hakim, dll). Karena, agar hukum berwibawa, perundang-undangan dilaksanakan dengan suka cita oleh masyarakat, pembuatan peraturan perundang-undangan harus pula memperhatikan madzhab masyarakat;
- Dalam poin c ayat (2) pasal 18 dari PMA Nomor 11 tahun 2007 tidak usah ditambahkan kata-kata, "berumur sekurang-kurangnya 19 tahun". Cukup saja disebutkan, "baligh", Usia minimal 19 tahun diganti dengan 15 tahun;
- harus ada pasal khusus yang menerangkan tentang kriteria baligh. Bunyi pasalnya sebagaimana pasal 985, 986, dan 987 Majallah al-Ahkam al-Adliyah;
bagus gan artikelnya, nice share
BalasHapusSouvenir Pernikahan Kediri
bagus tulisannya, pma harusnya disamakan dengan uu pemerintahan turki aja
BalasHapusJustru PMA ini untuk memberikan kepastian hukum, memberi pedoman kepada masyarakat dan petugas untuk menetapkan ukuran baligh. Kalau ketentuan 19 tahun itu dihilangkan, justru tidak akan memberi kepastian hukum. Padahal justru salah satu tujuan adanya negara adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada rakyat. Menyerahkan ukuran baligh kepada fikih, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum, karena banyaknya pendapat tentang ukuran baligh. Di samping itu, ketentuan 19 tahun usia minimal wali merupakan bentuk konsistensi hukum dengan ketentuan 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki.
BalasHapusTAZIZ, BALIGH MEMPUNYAI MAKNA MASING-MASING, DEMIKIAN JUGA WALI JUGA PUNYA MAKNA TERSENDIRI. WALI ITU ADA KAITANNYA DENGAN PEMAHAMAN, TANGUNGGJAWAB TIDAK SEKEDAR BALIGH. MAKA USIA 19 SDH MENDEKATI...SEBAGAI WALI
BalasHapusTerus bagaibagaikita menganggap wli tersebut sdh baligh.. Apakah hanya menggunakan sdh mimpi basah atau bagaimana?
BalasHapus